Cekrek Upload! Semua Orang Butuh Pengakuan


Semua orang butuh pengakuan. Oleh siapa dan dalam hal apa kita ingin diakui, masing-masing orang berbeda. Sebagian orang sangat ingin diapresiasi dalam hal penampilan. Mereka sangat senang kalau disebut cantik, tampan, modis, gaya rambut selalu update, kulit mulis, pipi merah merona, perut six pack, dada bidang dan lainnya.  

Sebagian orang yang lain ingin diakui sebagai orang yang berhasil dalam kehidupan. Kaya, mobil mewah, rumah besar, gawai seri terakhir, pasangan cantik/tampan, dan kesuksesan lainnya yang mencerminkan bahwa dia adalah pemenang dalam kehidupan ini. 

Jika sebagian besar manusia lebih suka diakui dari segi tampilan, ada juga yang ingin diakui dari sisi karakter. Mereka senang dianggap pintar, lucu, menyenangkan, ramah, penyabar, baik hati, setia kawan, pemberani, pekerja keras dan lain lain-lain. 

Di antara berbagai golongan manusia, ada juga yang tidak mengharap apresiasi orang banyak. Dia hanya ingin dianggap sebagai suami atau istri yang baik oleh pasangannya atau dianggap ayah/ibu yang menyenangkan oleh anaknya. 

Lebih tinggi dari itu, ada orang yang benar-benar tidak megharapkan pengakuan dari manusia, dan dia hanya tertarik mencari pengakuan Tuhan-nya. 

See, semua orang butuh pengakuan. Hal yang membedakan adalah, dalam hal apa dan oleh siapa kita ingin diakui. Arah hidup kita jelas didorong oleh motivasi pencarian pengakuan. 

Setiap hari kita berpikir dan bekerja keras untuk mendapatkan pengakuan. Mulai dari yang sibuk foto-foto, cekrek-upload, untuk mendapatkan like atau komentar di messenger atau medsos, hingga mereka yang membangunkan diri pada sepertiga malam untuk mencari pengakuan Tuhan-nya.

Pengharapan adalah sebuah keinginan. Kata Sidharta Gautama, keinginan adalah sumber penderitaan. Kata Aa Gym, mengharap dari mahluk adalah sumber penderitaan. Kita sendiri pasti sadar, mengharap pengakuan dari orang itu hal yang sangat menyiksa, bahkan terkadang membuat frustrasi. 

Meninggalkan pengharapan atas hal-hal material dan dangkal, menuju pengharapan yang bernilai spiritual jelas adalah sebuah perjuangan panjang dalam hidup ini. Berbahagialah mereka yang telah berhasil. 


_____________________
Foto: www.theweek.co.uk

Antara Mang Saswi dan Anggun C Sasmi


Mang Saswi adalah sosok yang sedang naik daun di dunia hiburan televisi Indonesia. Membawakan peran sebagai paman Sule dalam program “Ini Talkshow” di NET TV, lelaki berdarah Sunda itu menarik perhatian pemirsa karena leluconnya yang segar.
Pria yang ‘gak ganteng-ganteng amat’ itu berhasil membuat ciri khasnya sendiri, yakni membawakan parodi-parodi iklan atau lagu dengan cara yang menggelikan. Inspirasinya adalah rupa-rupa makanan dan minuman, khususnya khas Tanah Pasundan.

Pemirsa Ini Talkshow tentu sangat menanti aksi Mang Saswi menyeruput cangkir kopi sambil berujar, "Kopiku kental..." Adegan itu dia lakukan dengan ekspresi wajah penuh kenikmatan. Sementara itu, para bintang tamu akan menatap polah mang Saswi dengan wajah takjub sekaligus cemas.

Wajar memang bintang tamu menatapnya dengan cemas. Itu karena mereka biasanya dipaksa mengikuti parodi kocak yang disadur dari iklan produk kopi itu. Selain parodi iklan kopi, ada juga sejumlah plesetan lagu yang biasa dibawakan Mang Saswi. Di antaranya bertema ‘bandrek’ dan ‘cendol’.  Itu adalah dua jenis minuman tradisional dari Tanah Priangan.


Hal menarik, lagu asli yang disadur Mang Saswi menjadi parodi bandrek tak sengaja saya temukan ketika berselancar di laman Eurovision. Eurovision tak lain adalah ajang kontes musik paling akbar di dataran Benua Biru.

Lagu yang disadur Mang Saswi dibawakan kontestan wakil Italia Domenico Modugno berjudul “Nel Blu Dipinto Di Blu” pada ajang Eurovision ketiga, tahun 1958. Meski hanya menjadi juara ketiga, lagu yang lebih populer dengan judul “Volare” itu dinobatkan sebagai tembang Eurovision terlaris sepanjang massa.


Para paus jazz dunia, seperti Lous Armstrong, Franks Sinatra dan Ella Fitzgerald pernah menggubah lagu tersebut. Begitu juga para maestro seriosa, seperti Luciano Pavarotti dan Andrea Bocelli sempat membawakan lagu tersebut.

Meski begitu, irama yang diparodikan Mang Saswi dengan tema “bandrek” sendiri diambil dari versi Gipsy Kings. Gipsy Kings adalah grup musik beraliran rumba yang dibentuk sejumlah keturunan imigran Katalunya di Montpellier, Perancis.

Lagu “Volare” yang tadinya bertempo lambat digubah berirama cepat sehingga cocok mengiringi tarian salsa atau rumba. Lagu tersebut dirilis pada tahun 1989 dan menembus tangga lagu favorit di sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat.


Musik Gipsy Kings yang diparodikan Mang Saswi tidak hanya “Volare”. Ada juga lagu berjudul “Bamboleo” yang diaplesetkan dengan tema cendol menjadi “cendoleo”. Simak di sini:  Gipsy Kings - Bamboleo

Di Indonesia, grup musik Gipsy Kings rasanya tidak terlalu populer. Mungkin hanya kalangan tertentu saja, khusunya generasi 80-90-an, yang tahu grup tersebut dan familiar dengan musik-musik mereka. Nah, Mang Saswi yang berusia 40-an tahun itu agaknya satu dari sedikit orang yang akrab dengan musik Gipsy Kings. Salut Mang!

Kreativitas Mang Saswi menggubah lagu rumba dengan parodi bertema penganan daerah adalah ide lawakan yang baru di panggung hiburan tanah air. Apa yang dilakukan Mang Saswi bukanlah komedi konyol yang tidak mendidik—seperti banyak lawakan di televisi Indonesia. Lebih dari itu, Mang Saswi telah mengenalkan Budaya Sunda, yang merupakan salah satu kekayaan Indonesia, kepada khalayak lebih luas.

Salutnya, semua itu dilakukan Mang Saswi dengan penuh percaya diri dan kebanggan. Seolah dia tidak peduli pemirsa yang bukan kalangan Sunda mengerti atau tidak dengan kata-kata yang dia ucapkan. Tapi buktinya, Mang Saswi sukses merebut simpati pemirsa di berbagai daerah di Indonesia. Dia jelas telah menembus batas-batas kedaerahan atau kesukuan.

Orang Aceh yang tadinya tidak tahu bandrek mungkin akan langsung mencarinya di internet. Begitu juga orang Papua, mereka juga jadi tahu ada minuman biji tepung bersantan yang bernama cendol. Mengangkat lokalitas di panggung nasional jelas membutuhkan keberanian dan cara komunikasi yang baik. Di sinilah keberhasilan Mang Saswi. Sosok Mang Saswi ini tentu bisa dijadikan inspirasi selebritas dari suku bangsa lain di Indonesia.

Sampai di sini, kok terasa ada yang terlewat. Lalu di mana itu cerita tentang Anggun C Sasmi seperti dijanjikan di judul? Apa juga kaitannya diva Indonesia-Perancis itu dengan Mang Saswi?

Seperti saya sampaikan sebelumnya, saya menemukan lagu “Volare” di laman Eurovision. Ceritanya, ketika itu saya sedang membaca-baca tentang kisah Anggun. Salah satu prestasi terbesar Anggun di jagat musik adalah menjadi utusan Perancis dalam ajang Eurovision tahun 2012 di Baku, Ajerbaidzan. Bagi sebagian orang, ini mungkin berita lama. Tapi untuk saya sendiri, jujur saya baru mengetahuinya. Hehe…

Bagi Anda yang baru tahu, jangan membayangkan Eurovision sejenis program “American Idol” atau “American Got Talent”. Kontes itu tak ubahnya kejuaraan olahraga, di mana negara dan bangsa-bangsa di Eropa mengadu martabatnya.

Setiap tahun, negara-negara Eropa memilih duta mereka dengan cara pemungutan suara. Hal menarik, tahun 2012 itu, warga Perancis memilih Anggun sebagai utusan bangsa mereka di ajang Eurovision. Terpilihnya Anggun melalui voting disebut sebagai bentuk frustrasi masyarakat Perancis yang sudah lama tidak memenangi Eurovision.

Anggun bahkan dianggap kesempatan terakhir Perancis untuk memenagi ajang yang terakhir mereka juarai tahun 1977 itu. Meski begitu, terpilihnya Anggun bukannya tanpa kontroversi. Sebagaian menganggap perempuan kelahiran Jakarta, Indonesia itu “kurang Perancis” untuk mewakili negara tersebut.

Anggun sendiri sangat senang dan percaya diri membela negara barunya itu. Kepada surat kabar Le Parisien, seperti dikutip Wikipedia, Anggun pun mengomentari kesempatan itu dengan kata-kata yang indah:

"Ini merupakan sebuah kehormatan bagi saya yang berasal dari Indonesia, yang baru menjadi warga negara Perancis sejak tahun 2000. Saya mungkin melambangkan Perancis hari ini, negara yang terbentuk dari beragam budaya. Negara Anda telah memberikan saya sebuah bahasa dan identitas yang indah. Diam-diam, kita semua sebenarnya ingin kemenangan. Saya akan bersinar untuk Perancis!"

Tampil dalam ajang dengan tata panggung yang sangat megah itu, Agun membawakan lagu “Echo (You and I)”. Tembang itu diambil dari album internasional ke-5 miliknya, “Echoes”. Menurut saya, musikalitas serta aksi panggung Anggun sangat memesona. Berperan sebagai penari latar, sejumlah pesenam berjumpalitan dengan atraktif di sekitar dia.


Lagu bergenre pop-elektronik itu dibawakan Anggun dengan memukau dan sangat berkelas dunia. Tak lupa, pada akhir penampilannya, anggun menyampaikan syukur dalam tiga bahasa. “Mercy, thank you, terimakasih…!” teriak dia.

Ah, Anggun, sungguh berani kau mengucapkan kata “terimakasih” itu. Saya sendiri tak yakin ada orang Indonesia yang menyaksikan Anggun di sana. Bagi saya, keberanian Anggun mengatakan “terimakasih” itu bukan hal sederhana. Lebih dari kata-kata, ucapan Anggun menurut saya adalah ekspresi kemerdekaan seorang warga bekas negera jajahan. Dalam istilah psikologi, rasa minder bangsa-bangsa yang pernah mengalami kolonialisme itu disebut “inferiority complex”.

Sayang, penampilan Anggun tampaknya kurang memikat warga Eropa yang menjadi juri melalui SMS.  Ya, itu toh hanya urusan selera. Loreen, penyanyi Swedia keturunan Maroko, akhirnya memenangi ajang tersebut dengan lagunya “Euphoria”. Jujur, aksi Loreen ini memang keren.

Bagi saya, Mang Saswi dan Anggun adalah dua sosok selebritas yang menarik. Keduanya tidak kehilangan jati diri menghadapi dominasi budaya asing di sekitar mereka. Mang Saswi dan Anggun jelas adalah inspirasi bagi generasi muda Indonesia yang kerap tak percaya diri terhadap asal-usul mereka.



_________________________
foto: gustiayuisma.tumblr.com

Ketika Otak Jurnalis Macet



Menjelang akhir tahun, buruh di berbagai daerah di negeri ini sedang masif-masifnya menggelar demonstrasi. Mereka unjuk kekuatan demi mendorong kenaikan upah tahunan sebesar mungkin.
Kelompok buruh dari berbagai serikat itu biasanya menggelar demonstrasi di pusat-pusat pemerintahan. Mulai dari kantor wali kota, bupati, gubernur, bahkan istana presiden. Karena pusat-pusat pemerintahan selalu berada di tengah kota, maka sering kali kemacetan tak terhindarkan.

Akibatnya, banyak pengguna jalan merasa terganggu. Karena fenomena demo buruh belakangan semakin membudaya, tak sedikit warga masyarakat yang sangat membenci demonstrasi yang dilakukan par pekerja. Mereka khususnya adalah warga perkotaan.

Di antara mereka yang sangat sinis terhadap demo buruh, sebagian besar adalah masyarkat kelas menengah. Maklum saja, kelas menengah ini adalah golongan dengan mobilitas tinggi dan mencintai keteraturan.

Tapi tidak dimungkiri, tak sedikit juga rakyat jelata, seperti tukang ojek atau pedagang sayur yang mengutuk demo-demo buruh. Alasannya sederhana dan cukup masuk akal, yakni bahwa mereka dirugikan karena rezekinya terjegal kerumunan massa.

Namun juga tidak semua orang dirugikan demo buruh. Masih ada tukang cendol atau tukang rokok yang selalu hadir di tengah demo memanfaatkan peluang pasar.

Terlepas dari siapa-siapa mereka yang membenci demo buruh itu, kuping saya panas juga ketika beberapa teman sesama jurnalis ikut-ikutan mengutuk demonstrasi buruh. Wah…, dalam hati saya berujar, “Begini, nih, kalau mantan mahasiswa ‘kupu-kupu’ jadi wartawan”.

Berbeda dengan golongan kelas menengah pemburu kemapanan atau rakyat jelata perkotaan yang kurang berpendidikan, menurut saya, para jurnalis ini sudah seharusnya lebih adil dalam berpikir, tidak mudah menjatuhkan stigma, apalagi memelihara sinisme.

Catatan ini ingin saya buat setelah mendengar beberapa teman jurnalis turut mengumpat demo buruh. Ceritanya, selepas meliput demo buruh pertengahan November lalu, kami melewatkan waktu di ruangan khusus wartawan di salah satu pusat pemerintahan.

Dari ruang itu terdengar suara komandan buruh meneriakan yel-yel saktinya. “Hidup buruh..! Hidup buruh…!” Begitu kata si Kamerad di atas mobil itu berulang-ulang.

Seperti menumpahkan sinisme yang terpendam, beberapa wartawan pun menimpalinya dengan elu-elu guyonan. “Ngakunya buruh, tapi kaya-kaya. Peke motornya Ninja,” ujar salah seorang wartawan muda. ”Iya, itu provokatornya. Mereka sih gak kerja, ” kata seorang wartawan lain menimpali.  Saya menebak, provokator yang dia maksud adalah para pengurus serikat buruh.

Sebagai mantan mahasiswa demonstran, hati saya agak tersentil juga mendengar cibiran kawan-kawan saya itu. Lalu saya mengingat, malam sebelumnya, di grup BBM kami, informasi tentang demo buruh juga mengundang guyonan sinis. “Gaji muluuu. Aku aja gaji di bawah UMK gak pernah demo,” kata salah seorang teman.

Lalu saya teringat lagi kata-kata teman wartawan di waktu yang lain. Teman itu bilang malas meliput buruh demo. “Kurang simpatik aku. Demo-demo bikin macet begitu,” kata dia.

Semenyebalkan itu kah demo buruh? Sampai para wartawan juga ikut-ikutan menghujat. Dalam kepala saya berpikir, andai mereka merenungkan beberapa hal, mungkin mereka akan lebih respek terhadap buruh dan aksi-aksi demo yang mereka lakukan.

Bagi golongan kelas menengah, termasuk pekerja kantoran dan wartawan, seharusnya mereka sadar bahwa standar upah yang diperjuangkan buruh akan mendorong kenaikan upah para profesional seperti mereka. Secara logika, tentu tidak ideal jika gaji wartawan lulusan S1 berada di bawah gaji buruh pabrik.

Jika kenyataannya banyak wartawan yang digaji di bawah UMK alias lebih kecil dari buruh, lah, kenapa mereka diam saja? Apakah tinggi pendidikan berkorelasi terbalik dengan keberanian? Kenapa wartawan yang selalu berpikir kritis itu tidak bisa mengkritisi hubungan kerja di kantornya sendiri?

Ketika melihat buruh berpenampilan lebih sejahtera, kenapa kita harus sinis? Lalu kita menuduh para pekerja pabrik itu orang kaya hanya gara-gara bermotor bagus. Mungkin saja motor itu kreditan. Kalaupun mereka kaya, mungkin itulah hasil perjuangan mereka. Lagian, kenapa kita harus sebegitu menyesal melihat mereka sejahtera?

Sebaliknya, tidak kah kelas menengah dan wartawan medioker itu bertanya, kenapa buruh menjadi orang-orang yang begitu berani? Kenapa mereka yang hanya lulusan SMA, SMP, atau bahkan SD itu, bisa menjadi manusia-manusia garang yang tak takut memaki bupati, wali kota, gubernur, bahkan presiden sekalipun melalui pelantang suara.

Bagi saya yang pernah ikut-ikutan jadi demonstran ketika mahasiswa, sedikit banyak saya paham jawabannya. Para buruh memang telah digariskan mewarisi trah perjuangan. Dalam diri mereka mengalir darah keberanian orang-orang tertindas dan tak bermilik, seperti Spartakus atau Ken Arok.

Jangan lupa, mereka dididik oleh teori-teori maju gerakan revolusioner yang diwariskan Karl Marx, Tan Malaka, serta para pemikir pembela kaum tertindas lainnya. Teori-teori itu bukan isapan jempol. Filosofi dan taktik perjuangan yang diwariskan dari generasi ke generasi terbukti selalu menjadi ancaman terbesar tuan-tuan kapitalis.

Sepanjang sejarahnya, buruh juga telah berjasa memajukan kehidupan umat manusia. Tidakkah para pekerja kantoran itu sadar bahwa standar delapan jam kerja sehari yang mereka nikmati adalah buah perjuangan buruh? Begitu juga berbagai kemudahan lainnya, mulai dari hak cuti hingga jaminan kesehatan, tidakkah mereka pernah terpikir itu?

Dari teori dan praktik-praktik perjuangan terdahulu, buruh selalu sadar, dia punya daya tawar penting dalam hubungan sosial. Cobalah buruh PLN mogok, selesailah sudah segala kenikmatan kelas menengah. Cobalah buruh bandara mogok, tamatlah mimpi keluarga kaya dan para backpacker bervakansi.

Jangan lupa, seluruh kenyamanan yang kita rasakan adalah hasil keringat buruh. Mulai dari pakaian kita yang keren hingga gawai generasi terbaru yang menjadi kebanggan kita. Memang ungkapan ini terdengar klise. Tapi apakah kita sudah benar-benar merenungkan itu?

Jadi kenapa harus nyinyir gara-gara buruh demo di jalan. Memang berapa jam sih perjalanan Anda terganggu? Memang mereka mengganggu perjalanan Anda setiap hari? Tak bisakah Anda sedikit berempati?

Tapi buruh juga tidak peduli dengan sikap nyinyir Anda. Buruh sadar betul dan berpegang pada teori bahwa kelas menengah adalah golongan bimbang. Kelas menengah adalah bagian dari kaum borjuasi yang enggan berjuang karena mereka bermilik. Kelas menengah tidak rela begitu kehilangan apa yang mereka miliki karena alasan perjuangan yang penuh pertaruhan.

Setelah sebagian besar negara sosialis-komunis tutup gerai, alam sosial dan perjuangan buruh memang tidak seheroik dulu. Negara-negara di dunia kini sudah berubah sangat kapiltalistik. Semua memandang dengan cara kapitalis dan generasi kita perlahan melupakan jasa-jasa kaum buruh untuk perubahan dunia ini.

Di lain sisi, kelompok buruh di Indonesia sendiri tampaknya sedang seru-serunya merayakan demokrasi. Tidak hanya buruh, tetapi semua sedang tenggelam dalam euforia. Mulai dari mahasiswa, ormas, termasuk wartawan, merasa masing-masing adalah kelompok masyarakat kelas satu di negara ini.

Demo-demo buruh yang disebut suka seenaknya; menggedor pabrik untuk memaksa perusahaan mengeluarkan karyawan mereka, menurut saya adalah bagian dari perayaan kebebasan. Maklum saja, selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, watak proletar buruh telah dimatikan.

Bagi saya, hanya perlu sedikit kesabaran untuk merenung dan mengerti sikap buruh yang kini sedang kembali bergairah memperjuangkan nasib mereka. Tidakkah Anda, wahai kelas menengah, menyadari, peradaban barat yang Anda bangga-banggakan juga sering didera demo buruh. Di Eropa sana, bahkan tak hanya buruh yang suka demo atau mogok, tetapi juga pilot, bahkan pemain sepak bola profesional.

Kelas menengah terdidik, termasuk wartawan, sebenarnya selalu punya banyak kesempatan untuk belajar, termasuk belajar mengenal buruh. Maka tentu sial jurnalis yang enggan belajar dan berinteraksi dengan buruh atau dengan kelompok masyarakat sengsara lainnya. Bagaimana mereka bisa berempati dalam berkarya?

Dengan cara berpikir kapitalistik, para wartawan kita yang kurang wawasan itu tentu akan lebih mudah mencerna penjelasan pengusaha yang selalu mengeluh rugi karena kenaikan upah atau demo-demo buruh. Padahal, bukankah kerugian itu adalah takdir mereka sendiri yang telah memilih menjadi pedagang dan berkompetisi dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal?

Patut disesalkan, hari ini, tidak sedikit wartawan kita yang tidak pernah dan tidak ingin mengerti tentang sejarah buruh dan kehidupan mereka hari ini. Maka ketika buruh demo dan membuat macet sedikit saja, mereka pun turut mengutuk. Bisa jadi karena otak mereka juga macet karena cara berpikir yang terlalu kapitalistik.



_____________________
Ilustrasi: thenextweb.com

Rokok, Hisap Daku Kau Kutipu


Beberapa tahun terakhir ini, kadar sinisme saya terhadap rokok terasa semakin menguat. Rasa muak saya sejujurnya lebih besar ditujukan kepada industri rokok, pemerintah dan wakil rakyat yang menjadi agen-agen para pengusaha rokok.
Selanjutnya, saya juga kesal terhadap kelompok masyarakat, termasuk di dalamnya individu, yang bersikap kurang bijak menyikapi rokok ini (baca: bebal).

Sebagai jurnalis, saya berusaha semampu saya mendukung perlawanan terhadap rokok. Beberapa hal paling sederhana yang saya lakukan, misalnya, menghindari pemberitaan yang promotif tentang rokok dan industrinya.

Saya bahkan menghindari acara-acara yang disponsori rokok, termasuk acara-acara kebudayaan. Saya juga menjauhi pemberitaan kegiatan yang dilangsungkan di tempat-tempat yang dimiliki perusahaan rokok, seperti galeri atau museum.

Sebaliknya, saya senang memberitakan aksi dan gagasan kelompok masyarakat yang mengritik dan menentang rokok. Nah, beberapa waktu lalu, saya merasa puas membuat berita pendek yang mengritisi budaya rokok di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU).

Telah lama saya memang memendam keresahan menyaksikan sikap permisif golongan cendekia yang satu ini soal rokok. Tak hanya permisif, dalam perkembangannya, rokok bahkan menjadi identik dengan komunitas NU.

Saya tahu, keresahan tersebut bukan milik saya seorang diri. Terbukti, salah seorang teman yang saya kirimi tautan berita daring tersebut merespons girang karena merasa unek-uneknya terwakili. Saya yang beberapa waktu terakhir bersikap bengis terhadap (industri) rokok, bertambah resah melihat kultur bakar-bakar tembakau di kalangan warga nahdliyin. 

Padahal, NU dan ajarannya selama ini menjadi rujukan umat dalam berbagai urusan, mulai dari keagamaan, sosial, bahkan politik. NU juga menjadi representasi masyarakat Muslim Indonesia di mata dunia.

Berita yang saya buat mengangkat suara pimpinan Fatayat NU, sayap organisasi perempuan muda NU, soal rokok. Berita itu rupanya juga lumayan hits di kanal Republika Online. Seharian, ia bertengger di posisi kedua berita paling dibaca hari itu. (baca di sini: Soal Kultur Rokok Warga Nahdliyin, Ini Kata Fatayat NU).

Berita kecil itu juga direspons sebagian pembaca secara langsung di laman berita tersebut dan merangsang saling balas argumen. Kenyataan itu menguatkan asumsi saya, banyak orang di luar sana yang juga resah.

Tidak hanya di kalangan nahdliyin, saya sepakat, kultur rokok memang telah menjadi budaya yang mentradisi di tengah masyarakat Indonesia. Bahkan terakhir, para penggawa korporasi rokok di DPR berusaha menyelipkan klausul rokok keretek di dalam draf RUU Kebudayaan.

Alasannya, mereka menganggap rokok keretek sebagai warisan kebudayaan Indonesia yang harus dilestarikan. Sampai di sini, orang berakal pasti akan geleng-geleng kepala.

Wacana NU dan rokok yang mengawali tulisan ini cukup menjadi gambaran saja bagaimana beratnya pekerjaan rumah bangsa ini mengendalikan rokok.

Lantas, sampai kapan negeri ini menjadi surga rokok? Sampai kapan kita menjadi bangsa yang tega mengamputasi masa depan anak-anak dan generasi muda dengan rokok? Sampai kapan kita menjadi bangsa yang masa bodoh dan membodohi diri sendiri?

Banyak kaum perokok menipu dirinya sendiri dengan berbagai dalih. Kata mereka, "Mati itu takdir. Merokok atau tidak merokok, akhirnya mati juga". Masih kata mereka, "Banyak orang merokok panjang umur. Malah banyak yang tak merokok sakit-sakitan".

Walah-walah... Para pembela rokok itu telah menyangkal ilmu pengetahuan dan nalarnya sendiri. Segala pendapat ilmiah soal bahaya rokok tentu tidak perlu saya sisipkan di sini. Silakan Anda telusuri saja sendiri via Mbah Google.

Apakah Anda tidak merasa sedih melihat mereka seperti dicuci otak begitu? Yap, cuci otak memang senjata utama kapitalis industri rokok menjerat pasar mereka, termasuk anak-anak dan remaja di bawah umur.

Berbagai modus cuci otak mereka kerjakan. Mereka terus meneror kita dengan iklan dan jargon-jargon memikat. "Gak ada lo gak rame" yang artinya "Gak ada rokok gak rame".

Atau "Go ahead", yang artinya kurang lebih "Ngapain juga boleh. Go ahead. Asal jangan lupa ngerokok". Sementata "My life, my adventure", artinya kira-kira "jadilah petualang yang keren. Jadikan rokok teman Anda bertualang".

Tak hanya iklan artistik dan jargonis, industri rokok juga mencuci otak kita dengan cara-cara lain yang lebih persuasif. Mulai dari menjadi sponsor ajang olahraga, musik, teater bahkan beasiswa.

Sunguh sial, banyak seniman menikmati karya seninya yang adiluhung jadi iklan terselubung rokok. Sementara itu, kampus yang seharusnya menjadi benteng nalar juga turut menyalurkan dana haram pabrik rokok untuk membiayai mahasiswanya dengan nama beasiswa. Lalu semua orang merasa berhutang budi karena "kebaikan" industri rokok.

Selain itu, masih ada sejumlah argumen lain yang dikemukakan para pembela rokok. Salah satu yang paling jamak dikemukakan dan mereka anggap paling rasional, yakni bahwa menurut mereka, "Merokok tidak boleh dilarang karena menghidupi jutaan orang". Bagi saya, ini adalah pendapat putus asa yang lahir dari otak beku terpapar asap rokok. (Maaf saya agak kasar).

Saya sadar, tentu kita harus membedakan siapa yang mengutarakan argumen-argumen tumpul seperti yang saya contohkan di atas. Saya bisa memaafkan kalau yang berbicara adalah tukang becak atau nelayan yang tidak pernah sekolah. Tapi pada kenyataannya, pendapat itu juga sering saya dengar dari mereka yang cukup berpendidikan.

Kata-kata itu jelas tidak pantas diucapkan bangsa Indonesia. Bangsa yang hidup di sebuah surga yang kaya raya. Apakah pemerintah tidak bisa memberikan pekerjaan lain untuk mengganti mata pencaharian petani tembakau atau buruh rokok? Pertanyaannya, mau tidak pemerintah melakukan itu?

Meskipun begitu, tidak semua perokok bermental bebal seperti itu. Ada juga yang berani fair mengakui bahwa rokok adalah hal negatif. Hanya saja, mereka mengaku ketergantungan dan susah menghentikan kecanduan terhadap rokok.

Saya lebih respek terhadap golongan yang kedua ini. Dan bagi golongan kedua ini, mereka lebih punya peluang untuk berhenti merokok. Saya juga mengapresiasi mereka yang sedang berjuang berhenti merokok, atau setidaknya mereka yang sadar etika publik ketika merokok.

Soal etika publik ini, wah, ini sub pembahasan yang bisa sangat panjang. Negeri ini ibarat asbak yang besar di mana orang bebas merokok di mana saja dan membuang puntungnya semau mereka. Hal tersebut disebabkan lemahnya regulasi dan kontrol pemerintah, plus rendahnya etika publik para perokok.

Perjuangan melawan rokok, bagi saya adalah sebuah keharusan bagi setiap orang. Seorang pejabat publik harus berbenti demi rakyat yang ia layani. Seorang ayah harus berhenti merokok demi anak dan istrinya.

Seorang pemuda harus berhenti merokok demi kekasihnya. Seorang tokoh agama harus berhenti merokok demi umatnya. Seorang perempuan harus berhenti merokok demi kesehatan diri dan generasi yang akan ia lahirkan. Bahkan seorang Marxis harus berhenti merokok sebagai perlawanan terhadap kapitalisme industri rokok.

Saya dan Rokok
Foto: Andi Nurroni
Saya lahir dari keluarga dan lingkungan masyarakat lapisan bawah di mana rokok adalah kebutuhan pokok kaum pria. Hampir tidak ada anggota keluarga dan kerabat laki-laki saya yang tidak merokok. Begitu pun semua penduduk pria di kampung saya, yang sebagian bekerja sebagai nelayan, mereka adalah perokok berat.

Saya menyaksikan kakek saya sangat tersiksa menjelang akhir masa hidupnya. Ia menderita batuk kronis, sesak nafas, dan menjadi begitu ringkih. Kondisi serupa kini dialami bapak saya.

Saya tidak ingat persis kapan saya pertama kali mencoba rokok. Seingat saya, saya sudah sering merokok sejak SD. Begitulah memang pergaulan anak-anak di desa.

Di kampung saya, begitu juga di daerah pedesaan pada umumnya, merokok dianggap hal gagah dan simbol anak muda yang "gaul". Karena ingin kecipratan "gaul", anak-anak desa begitu bangga jika bisa merokok. Waktu bocah dulu, saya bahkan sering mencuri rokok kakek saya untuk dinikmati bersama teman-teman di samping masjid atau di pinggir sungai.

Beruntung, saya tidak pernah benar-benar kecanduan rokok. Saya berhenti merokok sejak SMA hingga setahun pertama kuliah. Karena hidup di lingkungan komunitas perokok, lalu di kampus saya kembali ketularan merokok.

Dua tahun menjelang lulus kuliah, saya kembali bertekad berhenti merokok. Butuh motivasi yang besar dan komitmen yang kuat memang. Satu-dua tahun pertama adalah masa-masa yang berat. Sesekali, pada saat menghadapi krisis, saya tidak bisa menahan hasrat untuk menghisap rokok. Baru setahun belakangan ini rasanya saya benar-benar lepas dari rokok.

Meski telah berhenti merokok, sebagai bagian dari bangsa perokok, sulit rasanya benar-benar menghindari paparan asap rokok. Saya bergaul di dalam lingkungan para perokok. Saya sendiri tidak pernah berlaku ofensif terhadap mereka.

Bahkan, saya tidak pernah unjuk suara menyatakan keberatan. Menerima paparan asap itu saya sadari sebagai harga yang harus saya bayar untuk tetap menjadi mahluk sosial di negeri ini. 

Jika saya membenci perokok, entahlah, mungkin saya sudah kehilangan banyak teman. Saya percaya, setiap perokok pasti akan berhenti, entah karena kesadaran, penyakit atau kematian. Namun yang pasti, perlawanan terhadap kapitalisme rokok akan terus saya lakukan sebisa saya.



_____________________________
Ilustrasi. Foto: allegralaboratory.net

Senang Melihat Menteri Susi


Jumat (11/9), saya berkesempatan mengekor Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ketika dia berkunjung ke Pamekasan, Madura. Di Desa Majungan, salah satu sentra garam di kabupaten tersebut, diselenggarakan acara bernama Festival Garam Nasional.

Meskipun diberi judul ‘festival’, kegiatan itu ternyata hanya semacam dialog antara petani garam dengan unsur-unsur pemangku kebijakan dari pemerintah. Sebagai bintang utama, hadir dalam kegiatan tersebut Menteri Susi Pudjiastuti.

Itu kali kedua perjumpaan saya dengan Susi. Sebelumnya, saya pernah berjumpa dia sekali, ketika dia berkunjung ke suatu acara di Surabaya. Saya sudah lupa itu kegiatan apa. Kalau tidak salah sejenis konfrensi dan pameran tentang kemaritiman.

Dalam hati, saya selalu merasa punya ikatan emosional dengan menteri nyentrik itu. Kami berasal dari daerah yang sama, yaitu Pangandaran. Itu adalah kawasan pesisir di bagian selatan Jawa Barat. Daerah itu sekarang  adalah kabupaten paling anyar di Jawa Barat, yang baru akan memilih bupati pertamanya pada Desember 2015 nanti.

Sejak kecil, saya sudah sering mendengar nama Susi Pudjiastuti, entah dari kakek-nenek atau bapak-ibu saya. Saya akarab dengan namanya, bahkan sebelum dia dikenal sebagai pengusaha penerbangan perintis, lalu kemudian menjadi menteri yang menyita perhatian.

Sedari saya kecil, di daerah saya, Susi memang sudah terkenal sebagai bos lobster dan aneka hasil laut. Selain karena kaya, dia juga dikenal karena sikapnya yang dermawan. Pada saat Lebaran, warga kampung di sekitar rumahnya biasa kecipratan ‘angpau’. Anak-anak dan ibu-ibu biasa mengantre di gerbang kompleks rumah Susi yang menyatu dengan pabrik pengolahan hasil laut miliknya.

Tentang pabrik itu, saya ingat, dulu ibu saya pernah bekerja di sana sebagai buruh pengolah lobster. Entah apa persisnya yang ibu saya kerjakan di sana. Ketika itu, kalau tidak salah saya belum masuk SD. Hal pasti, saya ingat ibu saya sering pulang membawa lobster sisa sortiran. Dia biasa memasaknya dengan mi kuah.

Dari nenek, saya juga pernah mendengar cerita bahwa Susi dulu adalah seorang pengepul ikan. Ia biasa hilir-mudik di pesisir membeli hasil tangkapan nelayan. Selain cerita-cerita itu, saya juga pernah mendengar beberapa informasi lainnya tentang Susi. Namun, sebagian besar adalah desas-desus yang beredar dari satu warga ke warga yang lain.

Misalnya tentang rencana Susi membuat landasan pacu untuk pesawatnya di sekitar daerah Pantai Pamugaran (kawasan pantai sepi di sebelah barat Kecamatan Pangandaran). Atau cerita tentang Susi yang konon membiayai pembangunan masjid agung (masjid terbesar di Pangandaran).

Begitulah, di daerah saya, informasi memang selalu beredar dalam bentuk desas-desus dan akhirnya menjadi mitos. Itu mungkin karena tidak ada sumber informasi yang terpercaya, seperti  koran daerah milsanya—bahkan hingga hari ini.

Meski saya telah akrab dengan namanya, seumur hidup saya di Pangandaran, saya belum pernah melihat rupa Susi seperti apa. Baru setelah kuliah, saya mulai mendapat banyak informasi tentang dia dari internet. Ketika saya kuliah (masuk tahun 2006), Susi sudah dikenal sebagai pengusaha di bidang penerbangan perintis; pemilik maskapai penerbangan Susi Air.

Saat Susi ditunjuk Jokowi Menteri Kelautan dan Perikanan, saya sedikit terkejut. Saya memang tidak punya banyak informasi bagaimana pergaulannya sebagai pengusaha atau kedekatannya dengan para elit politik. Ketika dia menjadi menteri, saya sudah bekerja sebagai wartawan dan bertugas di Jakarta.

Sebagai pemuda yang pernah dicekoki untuk berpikir kritis ketika mahasiswa, ditambah posisi saya sebagai wartawan, perasaan saya cenderung biasa saja mengetahui Susi menjadi menteri. Terlebih, saya merasa tidak tahu banyak tentang dia. Apalagi urusannya sudah dengan politik. Sudahlah.

Selama ini saya dalam posisi mengikuti sepak terjang Menteri Susi. Apakah kebijakan-kebijakannya, misalnya mengebom kapal asing pencuri ikan, hanya sebatas cari sensasi, atau dia bisa konsisten menunjukan keberpihakannya kepada rakyat.

Kembali ke Pamekasan, Madura. Perjumpaan saya dengan Menteri Susi di acara Festival Garam Nasional, boleh dibilang adalah kesempatan pertama saya mendengar langsung gagasan dan sikapnya soal isu-isu yang ia bawahi, khsusunya kali itu tentang urusan garam. Pada pertemuan sebelumnya, ketika di Surabaya, ia hanya berbicara sekilas saja di depan hadirin.

Di Pamekasan itu, untuk pertama kali saya merasa terkesan dengan sosok Susi. Dalam kesempatan tersebut, para petani garam dari berbagai daerah di Indonesia mengeluhkan berbagai hal. Mulai dari rendahnya harga garam hingga minimnya dukungan pemerintah.

Susi mengaku sedih melihat nasib petani garam dan karut-marut tata niaga garam di Indonesia. Di lain sisi, menurut Susi, ia merasa geram karena tidak bisa berbuat banyak untuk mengambil kebijakan soal garam. Terkait impor garam yang merugikan petani garam, menurut Susi, kebijakan lebih banyak banyak dikuasakan pada Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindusterian.

Oleh karena itu, menurut Susi, petani garam harus kompak berjuang untuk mendorong perubahan. Bila perlu, kata dia, mereka tidak perlu tabu untuk mendemo para pemangku kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.  “Demo saja, seratus bus sekalian. Jangan sedikit. Ajak anak-istri,” kata dia, dengan nada setengah bercanda, lantas disambut sorak para petani garam

Sunggu berani seorang menteri menyuruh masyaraktnya demo. Meskipun kemudian Susi memberi catatan, kalau mau demo, semua harus tertib dan seizin aparat keamanan.    

Di sektor kebijakan, kata Susi, ia telah meminta kepada Presiden agar kementeriannya dilibatkan dalam urusan impor garam. Hasilnya, kata Susi, presiden mendorong adanya satgas tata niaga garam yang dibentuk oleh tiga kementerian, yakni KKP, Kemendag, dan Kemenperin. Presiden memerinthkan, menurut Susi, satgas yang dimaksud sudah terbentuk dan bekerja pada Desember tahun ini.

Misi satgas tersebut, kata Susi, adalah menetukan besaran kuota impor garam yang jelas, agar tidak menjadi celah para importir nakal. Kedua, mengawasi proses impor dan gudang para importir, agar gram impor yang hanya boleh untuk industri, tidak masuk pasar garam konsumsi. Terakhir, menurut Susi, memastikan para importir garam menyerap garam rakyat dan tidak mengimpor garam ketika petani sedang panen, seperti yang diatur dalam Permendag.

Saya merasakan sosok Susi lebih mirip aktivis daripada menteri, termasuk tutur dan geraknya. Berbicara di hadapan para petani garam, kata-katanya bernas dan berapi-api. Ia seolah tak menaggung beban atau rasa takut. Pergerakannya begitu energik dan tidak bisa ditebak. Ketika diajak melakukan seremoni panen garam, Susi melepas sepatunya begitu saja; tanpa memedulikan sepatu bot yang disediakan untuknya.

Ia menggulung celananya hingga betis, tanpa terlihat risih dengan tato bergambar naga yang ada di kaki kanannya. Dia berloncatan antara tanggul dan tambak garam. Di tengah tambak ia bolak-balik menarik gram menggunakan alat penggaruk. Benar-benar menteri yang tidak biasa.

Saya melihat orang-orang begitu antusias menyaksikan aksi Susi, termasuk para pejabat bawahannya. Banyak yang mencuri-curi selfie. Mereka  berharap bisa terabadikan dalam satu bingkai bersama menteri yang “ganjil” itu.

Begitulah sedikti cerita saya. Kesan saya berjumpa menteri Susi bisa jadi emosional. Saya toh masih merasa belum tahu banyak tentang dia. Terlebih, ia masih berproses mencatatkan sejarahnya. Apakah Susi akan dikenang karena prestasi kerjanya? Kita tunggu saja.




_________________________________
Foto-foto: Andi Nurroni, Pemekasan, Agustus 2015  

Terlalu Banyak Cerita Terlewatkan


Terlalu banyak cerita terjadi di sekitar saya, begitupun banyak kesan yang terrekam di dalam kepala. Sayang, kisah-kisah menarik itu banyak berlalu begitu saja. Sebagai seorang jurnalis, pekerjaan saya memang menulis. Tapi media massa tempat saya menulis itu tentu hanya memuat hal-hal yang menyangkut kepentingan orang banyak.

Saya bukan tipe orang yang pandai bercerita secara verbal. Saya sering merasa tersiksa karena cerita-cerita itu hanya terpendam di kepala, lalu terlupakan begitu saja. Sudah lama saya ingin memiliki sebuah blog personal. Nah, baru sekarang ini saya begitu termotivasi untuk membuatnya.

Blog ini hanya sekedar dokumentasi untuk pengingat saya di waktu-waktu mendatang. Ya, syukur-syukur kalau ada orang lain yang membaca. Sebelumnya, saya telah mengumpulkan sejumlah laporan jurnalistik yang pernah saya buat dalam blog lain. Sila berkunjung kalau ada kesempatan: http://andinurroni-reportase.blogspot.co.id/


__________________________________________
Foto: Dokumentasi Andi Nurroni. Pulau Bawean, September 2015