Ketika Otak Jurnalis Macet



Menjelang akhir tahun, buruh di berbagai daerah di negeri ini sedang masif-masifnya menggelar demonstrasi. Mereka unjuk kekuatan demi mendorong kenaikan upah tahunan sebesar mungkin.
Kelompok buruh dari berbagai serikat itu biasanya menggelar demonstrasi di pusat-pusat pemerintahan. Mulai dari kantor wali kota, bupati, gubernur, bahkan istana presiden. Karena pusat-pusat pemerintahan selalu berada di tengah kota, maka sering kali kemacetan tak terhindarkan.

Akibatnya, banyak pengguna jalan merasa terganggu. Karena fenomena demo buruh belakangan semakin membudaya, tak sedikit warga masyarakat yang sangat membenci demonstrasi yang dilakukan par pekerja. Mereka khususnya adalah warga perkotaan.

Di antara mereka yang sangat sinis terhadap demo buruh, sebagian besar adalah masyarkat kelas menengah. Maklum saja, kelas menengah ini adalah golongan dengan mobilitas tinggi dan mencintai keteraturan.

Tapi tidak dimungkiri, tak sedikit juga rakyat jelata, seperti tukang ojek atau pedagang sayur yang mengutuk demo-demo buruh. Alasannya sederhana dan cukup masuk akal, yakni bahwa mereka dirugikan karena rezekinya terjegal kerumunan massa.

Namun juga tidak semua orang dirugikan demo buruh. Masih ada tukang cendol atau tukang rokok yang selalu hadir di tengah demo memanfaatkan peluang pasar.

Terlepas dari siapa-siapa mereka yang membenci demo buruh itu, kuping saya panas juga ketika beberapa teman sesama jurnalis ikut-ikutan mengutuk demonstrasi buruh. Wah…, dalam hati saya berujar, “Begini, nih, kalau mantan mahasiswa ‘kupu-kupu’ jadi wartawan”.

Berbeda dengan golongan kelas menengah pemburu kemapanan atau rakyat jelata perkotaan yang kurang berpendidikan, menurut saya, para jurnalis ini sudah seharusnya lebih adil dalam berpikir, tidak mudah menjatuhkan stigma, apalagi memelihara sinisme.

Catatan ini ingin saya buat setelah mendengar beberapa teman jurnalis turut mengumpat demo buruh. Ceritanya, selepas meliput demo buruh pertengahan November lalu, kami melewatkan waktu di ruangan khusus wartawan di salah satu pusat pemerintahan.

Dari ruang itu terdengar suara komandan buruh meneriakan yel-yel saktinya. “Hidup buruh..! Hidup buruh…!” Begitu kata si Kamerad di atas mobil itu berulang-ulang.

Seperti menumpahkan sinisme yang terpendam, beberapa wartawan pun menimpalinya dengan elu-elu guyonan. “Ngakunya buruh, tapi kaya-kaya. Peke motornya Ninja,” ujar salah seorang wartawan muda. ”Iya, itu provokatornya. Mereka sih gak kerja, ” kata seorang wartawan lain menimpali.  Saya menebak, provokator yang dia maksud adalah para pengurus serikat buruh.

Sebagai mantan mahasiswa demonstran, hati saya agak tersentil juga mendengar cibiran kawan-kawan saya itu. Lalu saya mengingat, malam sebelumnya, di grup BBM kami, informasi tentang demo buruh juga mengundang guyonan sinis. “Gaji muluuu. Aku aja gaji di bawah UMK gak pernah demo,” kata salah seorang teman.

Lalu saya teringat lagi kata-kata teman wartawan di waktu yang lain. Teman itu bilang malas meliput buruh demo. “Kurang simpatik aku. Demo-demo bikin macet begitu,” kata dia.

Semenyebalkan itu kah demo buruh? Sampai para wartawan juga ikut-ikutan menghujat. Dalam kepala saya berpikir, andai mereka merenungkan beberapa hal, mungkin mereka akan lebih respek terhadap buruh dan aksi-aksi demo yang mereka lakukan.

Bagi golongan kelas menengah, termasuk pekerja kantoran dan wartawan, seharusnya mereka sadar bahwa standar upah yang diperjuangkan buruh akan mendorong kenaikan upah para profesional seperti mereka. Secara logika, tentu tidak ideal jika gaji wartawan lulusan S1 berada di bawah gaji buruh pabrik.

Jika kenyataannya banyak wartawan yang digaji di bawah UMK alias lebih kecil dari buruh, lah, kenapa mereka diam saja? Apakah tinggi pendidikan berkorelasi terbalik dengan keberanian? Kenapa wartawan yang selalu berpikir kritis itu tidak bisa mengkritisi hubungan kerja di kantornya sendiri?

Ketika melihat buruh berpenampilan lebih sejahtera, kenapa kita harus sinis? Lalu kita menuduh para pekerja pabrik itu orang kaya hanya gara-gara bermotor bagus. Mungkin saja motor itu kreditan. Kalaupun mereka kaya, mungkin itulah hasil perjuangan mereka. Lagian, kenapa kita harus sebegitu menyesal melihat mereka sejahtera?

Sebaliknya, tidak kah kelas menengah dan wartawan medioker itu bertanya, kenapa buruh menjadi orang-orang yang begitu berani? Kenapa mereka yang hanya lulusan SMA, SMP, atau bahkan SD itu, bisa menjadi manusia-manusia garang yang tak takut memaki bupati, wali kota, gubernur, bahkan presiden sekalipun melalui pelantang suara.

Bagi saya yang pernah ikut-ikutan jadi demonstran ketika mahasiswa, sedikit banyak saya paham jawabannya. Para buruh memang telah digariskan mewarisi trah perjuangan. Dalam diri mereka mengalir darah keberanian orang-orang tertindas dan tak bermilik, seperti Spartakus atau Ken Arok.

Jangan lupa, mereka dididik oleh teori-teori maju gerakan revolusioner yang diwariskan Karl Marx, Tan Malaka, serta para pemikir pembela kaum tertindas lainnya. Teori-teori itu bukan isapan jempol. Filosofi dan taktik perjuangan yang diwariskan dari generasi ke generasi terbukti selalu menjadi ancaman terbesar tuan-tuan kapitalis.

Sepanjang sejarahnya, buruh juga telah berjasa memajukan kehidupan umat manusia. Tidakkah para pekerja kantoran itu sadar bahwa standar delapan jam kerja sehari yang mereka nikmati adalah buah perjuangan buruh? Begitu juga berbagai kemudahan lainnya, mulai dari hak cuti hingga jaminan kesehatan, tidakkah mereka pernah terpikir itu?

Dari teori dan praktik-praktik perjuangan terdahulu, buruh selalu sadar, dia punya daya tawar penting dalam hubungan sosial. Cobalah buruh PLN mogok, selesailah sudah segala kenikmatan kelas menengah. Cobalah buruh bandara mogok, tamatlah mimpi keluarga kaya dan para backpacker bervakansi.

Jangan lupa, seluruh kenyamanan yang kita rasakan adalah hasil keringat buruh. Mulai dari pakaian kita yang keren hingga gawai generasi terbaru yang menjadi kebanggan kita. Memang ungkapan ini terdengar klise. Tapi apakah kita sudah benar-benar merenungkan itu?

Jadi kenapa harus nyinyir gara-gara buruh demo di jalan. Memang berapa jam sih perjalanan Anda terganggu? Memang mereka mengganggu perjalanan Anda setiap hari? Tak bisakah Anda sedikit berempati?

Tapi buruh juga tidak peduli dengan sikap nyinyir Anda. Buruh sadar betul dan berpegang pada teori bahwa kelas menengah adalah golongan bimbang. Kelas menengah adalah bagian dari kaum borjuasi yang enggan berjuang karena mereka bermilik. Kelas menengah tidak rela begitu kehilangan apa yang mereka miliki karena alasan perjuangan yang penuh pertaruhan.

Setelah sebagian besar negara sosialis-komunis tutup gerai, alam sosial dan perjuangan buruh memang tidak seheroik dulu. Negara-negara di dunia kini sudah berubah sangat kapiltalistik. Semua memandang dengan cara kapitalis dan generasi kita perlahan melupakan jasa-jasa kaum buruh untuk perubahan dunia ini.

Di lain sisi, kelompok buruh di Indonesia sendiri tampaknya sedang seru-serunya merayakan demokrasi. Tidak hanya buruh, tetapi semua sedang tenggelam dalam euforia. Mulai dari mahasiswa, ormas, termasuk wartawan, merasa masing-masing adalah kelompok masyarakat kelas satu di negara ini.

Demo-demo buruh yang disebut suka seenaknya; menggedor pabrik untuk memaksa perusahaan mengeluarkan karyawan mereka, menurut saya adalah bagian dari perayaan kebebasan. Maklum saja, selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, watak proletar buruh telah dimatikan.

Bagi saya, hanya perlu sedikit kesabaran untuk merenung dan mengerti sikap buruh yang kini sedang kembali bergairah memperjuangkan nasib mereka. Tidakkah Anda, wahai kelas menengah, menyadari, peradaban barat yang Anda bangga-banggakan juga sering didera demo buruh. Di Eropa sana, bahkan tak hanya buruh yang suka demo atau mogok, tetapi juga pilot, bahkan pemain sepak bola profesional.

Kelas menengah terdidik, termasuk wartawan, sebenarnya selalu punya banyak kesempatan untuk belajar, termasuk belajar mengenal buruh. Maka tentu sial jurnalis yang enggan belajar dan berinteraksi dengan buruh atau dengan kelompok masyarakat sengsara lainnya. Bagaimana mereka bisa berempati dalam berkarya?

Dengan cara berpikir kapitalistik, para wartawan kita yang kurang wawasan itu tentu akan lebih mudah mencerna penjelasan pengusaha yang selalu mengeluh rugi karena kenaikan upah atau demo-demo buruh. Padahal, bukankah kerugian itu adalah takdir mereka sendiri yang telah memilih menjadi pedagang dan berkompetisi dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal?

Patut disesalkan, hari ini, tidak sedikit wartawan kita yang tidak pernah dan tidak ingin mengerti tentang sejarah buruh dan kehidupan mereka hari ini. Maka ketika buruh demo dan membuat macet sedikit saja, mereka pun turut mengutuk. Bisa jadi karena otak mereka juga macet karena cara berpikir yang terlalu kapitalistik.



_____________________
Ilustrasi: thenextweb.com
Previous
Next Post »