Senang Melihat Menteri Susi


Jumat (11/9), saya berkesempatan mengekor Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ketika dia berkunjung ke Pamekasan, Madura. Di Desa Majungan, salah satu sentra garam di kabupaten tersebut, diselenggarakan acara bernama Festival Garam Nasional.

Meskipun diberi judul ‘festival’, kegiatan itu ternyata hanya semacam dialog antara petani garam dengan unsur-unsur pemangku kebijakan dari pemerintah. Sebagai bintang utama, hadir dalam kegiatan tersebut Menteri Susi Pudjiastuti.

Itu kali kedua perjumpaan saya dengan Susi. Sebelumnya, saya pernah berjumpa dia sekali, ketika dia berkunjung ke suatu acara di Surabaya. Saya sudah lupa itu kegiatan apa. Kalau tidak salah sejenis konfrensi dan pameran tentang kemaritiman.

Dalam hati, saya selalu merasa punya ikatan emosional dengan menteri nyentrik itu. Kami berasal dari daerah yang sama, yaitu Pangandaran. Itu adalah kawasan pesisir di bagian selatan Jawa Barat. Daerah itu sekarang  adalah kabupaten paling anyar di Jawa Barat, yang baru akan memilih bupati pertamanya pada Desember 2015 nanti.

Sejak kecil, saya sudah sering mendengar nama Susi Pudjiastuti, entah dari kakek-nenek atau bapak-ibu saya. Saya akarab dengan namanya, bahkan sebelum dia dikenal sebagai pengusaha penerbangan perintis, lalu kemudian menjadi menteri yang menyita perhatian.

Sedari saya kecil, di daerah saya, Susi memang sudah terkenal sebagai bos lobster dan aneka hasil laut. Selain karena kaya, dia juga dikenal karena sikapnya yang dermawan. Pada saat Lebaran, warga kampung di sekitar rumahnya biasa kecipratan ‘angpau’. Anak-anak dan ibu-ibu biasa mengantre di gerbang kompleks rumah Susi yang menyatu dengan pabrik pengolahan hasil laut miliknya.

Tentang pabrik itu, saya ingat, dulu ibu saya pernah bekerja di sana sebagai buruh pengolah lobster. Entah apa persisnya yang ibu saya kerjakan di sana. Ketika itu, kalau tidak salah saya belum masuk SD. Hal pasti, saya ingat ibu saya sering pulang membawa lobster sisa sortiran. Dia biasa memasaknya dengan mi kuah.

Dari nenek, saya juga pernah mendengar cerita bahwa Susi dulu adalah seorang pengepul ikan. Ia biasa hilir-mudik di pesisir membeli hasil tangkapan nelayan. Selain cerita-cerita itu, saya juga pernah mendengar beberapa informasi lainnya tentang Susi. Namun, sebagian besar adalah desas-desus yang beredar dari satu warga ke warga yang lain.

Misalnya tentang rencana Susi membuat landasan pacu untuk pesawatnya di sekitar daerah Pantai Pamugaran (kawasan pantai sepi di sebelah barat Kecamatan Pangandaran). Atau cerita tentang Susi yang konon membiayai pembangunan masjid agung (masjid terbesar di Pangandaran).

Begitulah, di daerah saya, informasi memang selalu beredar dalam bentuk desas-desus dan akhirnya menjadi mitos. Itu mungkin karena tidak ada sumber informasi yang terpercaya, seperti  koran daerah milsanya—bahkan hingga hari ini.

Meski saya telah akrab dengan namanya, seumur hidup saya di Pangandaran, saya belum pernah melihat rupa Susi seperti apa. Baru setelah kuliah, saya mulai mendapat banyak informasi tentang dia dari internet. Ketika saya kuliah (masuk tahun 2006), Susi sudah dikenal sebagai pengusaha di bidang penerbangan perintis; pemilik maskapai penerbangan Susi Air.

Saat Susi ditunjuk Jokowi Menteri Kelautan dan Perikanan, saya sedikit terkejut. Saya memang tidak punya banyak informasi bagaimana pergaulannya sebagai pengusaha atau kedekatannya dengan para elit politik. Ketika dia menjadi menteri, saya sudah bekerja sebagai wartawan dan bertugas di Jakarta.

Sebagai pemuda yang pernah dicekoki untuk berpikir kritis ketika mahasiswa, ditambah posisi saya sebagai wartawan, perasaan saya cenderung biasa saja mengetahui Susi menjadi menteri. Terlebih, saya merasa tidak tahu banyak tentang dia. Apalagi urusannya sudah dengan politik. Sudahlah.

Selama ini saya dalam posisi mengikuti sepak terjang Menteri Susi. Apakah kebijakan-kebijakannya, misalnya mengebom kapal asing pencuri ikan, hanya sebatas cari sensasi, atau dia bisa konsisten menunjukan keberpihakannya kepada rakyat.

Kembali ke Pamekasan, Madura. Perjumpaan saya dengan Menteri Susi di acara Festival Garam Nasional, boleh dibilang adalah kesempatan pertama saya mendengar langsung gagasan dan sikapnya soal isu-isu yang ia bawahi, khsusunya kali itu tentang urusan garam. Pada pertemuan sebelumnya, ketika di Surabaya, ia hanya berbicara sekilas saja di depan hadirin.

Di Pamekasan itu, untuk pertama kali saya merasa terkesan dengan sosok Susi. Dalam kesempatan tersebut, para petani garam dari berbagai daerah di Indonesia mengeluhkan berbagai hal. Mulai dari rendahnya harga garam hingga minimnya dukungan pemerintah.

Susi mengaku sedih melihat nasib petani garam dan karut-marut tata niaga garam di Indonesia. Di lain sisi, menurut Susi, ia merasa geram karena tidak bisa berbuat banyak untuk mengambil kebijakan soal garam. Terkait impor garam yang merugikan petani garam, menurut Susi, kebijakan lebih banyak banyak dikuasakan pada Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindusterian.

Oleh karena itu, menurut Susi, petani garam harus kompak berjuang untuk mendorong perubahan. Bila perlu, kata dia, mereka tidak perlu tabu untuk mendemo para pemangku kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.  “Demo saja, seratus bus sekalian. Jangan sedikit. Ajak anak-istri,” kata dia, dengan nada setengah bercanda, lantas disambut sorak para petani garam

Sunggu berani seorang menteri menyuruh masyaraktnya demo. Meskipun kemudian Susi memberi catatan, kalau mau demo, semua harus tertib dan seizin aparat keamanan.    

Di sektor kebijakan, kata Susi, ia telah meminta kepada Presiden agar kementeriannya dilibatkan dalam urusan impor garam. Hasilnya, kata Susi, presiden mendorong adanya satgas tata niaga garam yang dibentuk oleh tiga kementerian, yakni KKP, Kemendag, dan Kemenperin. Presiden memerinthkan, menurut Susi, satgas yang dimaksud sudah terbentuk dan bekerja pada Desember tahun ini.

Misi satgas tersebut, kata Susi, adalah menetukan besaran kuota impor garam yang jelas, agar tidak menjadi celah para importir nakal. Kedua, mengawasi proses impor dan gudang para importir, agar gram impor yang hanya boleh untuk industri, tidak masuk pasar garam konsumsi. Terakhir, menurut Susi, memastikan para importir garam menyerap garam rakyat dan tidak mengimpor garam ketika petani sedang panen, seperti yang diatur dalam Permendag.

Saya merasakan sosok Susi lebih mirip aktivis daripada menteri, termasuk tutur dan geraknya. Berbicara di hadapan para petani garam, kata-katanya bernas dan berapi-api. Ia seolah tak menaggung beban atau rasa takut. Pergerakannya begitu energik dan tidak bisa ditebak. Ketika diajak melakukan seremoni panen garam, Susi melepas sepatunya begitu saja; tanpa memedulikan sepatu bot yang disediakan untuknya.

Ia menggulung celananya hingga betis, tanpa terlihat risih dengan tato bergambar naga yang ada di kaki kanannya. Dia berloncatan antara tanggul dan tambak garam. Di tengah tambak ia bolak-balik menarik gram menggunakan alat penggaruk. Benar-benar menteri yang tidak biasa.

Saya melihat orang-orang begitu antusias menyaksikan aksi Susi, termasuk para pejabat bawahannya. Banyak yang mencuri-curi selfie. Mereka  berharap bisa terabadikan dalam satu bingkai bersama menteri yang “ganjil” itu.

Begitulah sedikti cerita saya. Kesan saya berjumpa menteri Susi bisa jadi emosional. Saya toh masih merasa belum tahu banyak tentang dia. Terlebih, ia masih berproses mencatatkan sejarahnya. Apakah Susi akan dikenang karena prestasi kerjanya? Kita tunggu saja.




_________________________________
Foto-foto: Andi Nurroni, Pemekasan, Agustus 2015  
Previous
Next Post »
0 Komentar