Rokok, Hisap Daku Kau Kutipu


Beberapa tahun terakhir ini, kadar sinisme saya terhadap rokok terasa semakin menguat. Rasa muak saya sejujurnya lebih besar ditujukan kepada industri rokok, pemerintah dan wakil rakyat yang menjadi agen-agen para pengusaha rokok.
Selanjutnya, saya juga kesal terhadap kelompok masyarakat, termasuk di dalamnya individu, yang bersikap kurang bijak menyikapi rokok ini (baca: bebal).

Sebagai jurnalis, saya berusaha semampu saya mendukung perlawanan terhadap rokok. Beberapa hal paling sederhana yang saya lakukan, misalnya, menghindari pemberitaan yang promotif tentang rokok dan industrinya.

Saya bahkan menghindari acara-acara yang disponsori rokok, termasuk acara-acara kebudayaan. Saya juga menjauhi pemberitaan kegiatan yang dilangsungkan di tempat-tempat yang dimiliki perusahaan rokok, seperti galeri atau museum.

Sebaliknya, saya senang memberitakan aksi dan gagasan kelompok masyarakat yang mengritik dan menentang rokok. Nah, beberapa waktu lalu, saya merasa puas membuat berita pendek yang mengritisi budaya rokok di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU).

Telah lama saya memang memendam keresahan menyaksikan sikap permisif golongan cendekia yang satu ini soal rokok. Tak hanya permisif, dalam perkembangannya, rokok bahkan menjadi identik dengan komunitas NU.

Saya tahu, keresahan tersebut bukan milik saya seorang diri. Terbukti, salah seorang teman yang saya kirimi tautan berita daring tersebut merespons girang karena merasa unek-uneknya terwakili. Saya yang beberapa waktu terakhir bersikap bengis terhadap (industri) rokok, bertambah resah melihat kultur bakar-bakar tembakau di kalangan warga nahdliyin. 

Padahal, NU dan ajarannya selama ini menjadi rujukan umat dalam berbagai urusan, mulai dari keagamaan, sosial, bahkan politik. NU juga menjadi representasi masyarakat Muslim Indonesia di mata dunia.

Berita yang saya buat mengangkat suara pimpinan Fatayat NU, sayap organisasi perempuan muda NU, soal rokok. Berita itu rupanya juga lumayan hits di kanal Republika Online. Seharian, ia bertengger di posisi kedua berita paling dibaca hari itu. (baca di sini: Soal Kultur Rokok Warga Nahdliyin, Ini Kata Fatayat NU).

Berita kecil itu juga direspons sebagian pembaca secara langsung di laman berita tersebut dan merangsang saling balas argumen. Kenyataan itu menguatkan asumsi saya, banyak orang di luar sana yang juga resah.

Tidak hanya di kalangan nahdliyin, saya sepakat, kultur rokok memang telah menjadi budaya yang mentradisi di tengah masyarakat Indonesia. Bahkan terakhir, para penggawa korporasi rokok di DPR berusaha menyelipkan klausul rokok keretek di dalam draf RUU Kebudayaan.

Alasannya, mereka menganggap rokok keretek sebagai warisan kebudayaan Indonesia yang harus dilestarikan. Sampai di sini, orang berakal pasti akan geleng-geleng kepala.

Wacana NU dan rokok yang mengawali tulisan ini cukup menjadi gambaran saja bagaimana beratnya pekerjaan rumah bangsa ini mengendalikan rokok.

Lantas, sampai kapan negeri ini menjadi surga rokok? Sampai kapan kita menjadi bangsa yang tega mengamputasi masa depan anak-anak dan generasi muda dengan rokok? Sampai kapan kita menjadi bangsa yang masa bodoh dan membodohi diri sendiri?

Banyak kaum perokok menipu dirinya sendiri dengan berbagai dalih. Kata mereka, "Mati itu takdir. Merokok atau tidak merokok, akhirnya mati juga". Masih kata mereka, "Banyak orang merokok panjang umur. Malah banyak yang tak merokok sakit-sakitan".

Walah-walah... Para pembela rokok itu telah menyangkal ilmu pengetahuan dan nalarnya sendiri. Segala pendapat ilmiah soal bahaya rokok tentu tidak perlu saya sisipkan di sini. Silakan Anda telusuri saja sendiri via Mbah Google.

Apakah Anda tidak merasa sedih melihat mereka seperti dicuci otak begitu? Yap, cuci otak memang senjata utama kapitalis industri rokok menjerat pasar mereka, termasuk anak-anak dan remaja di bawah umur.

Berbagai modus cuci otak mereka kerjakan. Mereka terus meneror kita dengan iklan dan jargon-jargon memikat. "Gak ada lo gak rame" yang artinya "Gak ada rokok gak rame".

Atau "Go ahead", yang artinya kurang lebih "Ngapain juga boleh. Go ahead. Asal jangan lupa ngerokok". Sementata "My life, my adventure", artinya kira-kira "jadilah petualang yang keren. Jadikan rokok teman Anda bertualang".

Tak hanya iklan artistik dan jargonis, industri rokok juga mencuci otak kita dengan cara-cara lain yang lebih persuasif. Mulai dari menjadi sponsor ajang olahraga, musik, teater bahkan beasiswa.

Sunguh sial, banyak seniman menikmati karya seninya yang adiluhung jadi iklan terselubung rokok. Sementara itu, kampus yang seharusnya menjadi benteng nalar juga turut menyalurkan dana haram pabrik rokok untuk membiayai mahasiswanya dengan nama beasiswa. Lalu semua orang merasa berhutang budi karena "kebaikan" industri rokok.

Selain itu, masih ada sejumlah argumen lain yang dikemukakan para pembela rokok. Salah satu yang paling jamak dikemukakan dan mereka anggap paling rasional, yakni bahwa menurut mereka, "Merokok tidak boleh dilarang karena menghidupi jutaan orang". Bagi saya, ini adalah pendapat putus asa yang lahir dari otak beku terpapar asap rokok. (Maaf saya agak kasar).

Saya sadar, tentu kita harus membedakan siapa yang mengutarakan argumen-argumen tumpul seperti yang saya contohkan di atas. Saya bisa memaafkan kalau yang berbicara adalah tukang becak atau nelayan yang tidak pernah sekolah. Tapi pada kenyataannya, pendapat itu juga sering saya dengar dari mereka yang cukup berpendidikan.

Kata-kata itu jelas tidak pantas diucapkan bangsa Indonesia. Bangsa yang hidup di sebuah surga yang kaya raya. Apakah pemerintah tidak bisa memberikan pekerjaan lain untuk mengganti mata pencaharian petani tembakau atau buruh rokok? Pertanyaannya, mau tidak pemerintah melakukan itu?

Meskipun begitu, tidak semua perokok bermental bebal seperti itu. Ada juga yang berani fair mengakui bahwa rokok adalah hal negatif. Hanya saja, mereka mengaku ketergantungan dan susah menghentikan kecanduan terhadap rokok.

Saya lebih respek terhadap golongan yang kedua ini. Dan bagi golongan kedua ini, mereka lebih punya peluang untuk berhenti merokok. Saya juga mengapresiasi mereka yang sedang berjuang berhenti merokok, atau setidaknya mereka yang sadar etika publik ketika merokok.

Soal etika publik ini, wah, ini sub pembahasan yang bisa sangat panjang. Negeri ini ibarat asbak yang besar di mana orang bebas merokok di mana saja dan membuang puntungnya semau mereka. Hal tersebut disebabkan lemahnya regulasi dan kontrol pemerintah, plus rendahnya etika publik para perokok.

Perjuangan melawan rokok, bagi saya adalah sebuah keharusan bagi setiap orang. Seorang pejabat publik harus berbenti demi rakyat yang ia layani. Seorang ayah harus berhenti merokok demi anak dan istrinya.

Seorang pemuda harus berhenti merokok demi kekasihnya. Seorang tokoh agama harus berhenti merokok demi umatnya. Seorang perempuan harus berhenti merokok demi kesehatan diri dan generasi yang akan ia lahirkan. Bahkan seorang Marxis harus berhenti merokok sebagai perlawanan terhadap kapitalisme industri rokok.

Saya dan Rokok
Foto: Andi Nurroni
Saya lahir dari keluarga dan lingkungan masyarakat lapisan bawah di mana rokok adalah kebutuhan pokok kaum pria. Hampir tidak ada anggota keluarga dan kerabat laki-laki saya yang tidak merokok. Begitu pun semua penduduk pria di kampung saya, yang sebagian bekerja sebagai nelayan, mereka adalah perokok berat.

Saya menyaksikan kakek saya sangat tersiksa menjelang akhir masa hidupnya. Ia menderita batuk kronis, sesak nafas, dan menjadi begitu ringkih. Kondisi serupa kini dialami bapak saya.

Saya tidak ingat persis kapan saya pertama kali mencoba rokok. Seingat saya, saya sudah sering merokok sejak SD. Begitulah memang pergaulan anak-anak di desa.

Di kampung saya, begitu juga di daerah pedesaan pada umumnya, merokok dianggap hal gagah dan simbol anak muda yang "gaul". Karena ingin kecipratan "gaul", anak-anak desa begitu bangga jika bisa merokok. Waktu bocah dulu, saya bahkan sering mencuri rokok kakek saya untuk dinikmati bersama teman-teman di samping masjid atau di pinggir sungai.

Beruntung, saya tidak pernah benar-benar kecanduan rokok. Saya berhenti merokok sejak SMA hingga setahun pertama kuliah. Karena hidup di lingkungan komunitas perokok, lalu di kampus saya kembali ketularan merokok.

Dua tahun menjelang lulus kuliah, saya kembali bertekad berhenti merokok. Butuh motivasi yang besar dan komitmen yang kuat memang. Satu-dua tahun pertama adalah masa-masa yang berat. Sesekali, pada saat menghadapi krisis, saya tidak bisa menahan hasrat untuk menghisap rokok. Baru setahun belakangan ini rasanya saya benar-benar lepas dari rokok.

Meski telah berhenti merokok, sebagai bagian dari bangsa perokok, sulit rasanya benar-benar menghindari paparan asap rokok. Saya bergaul di dalam lingkungan para perokok. Saya sendiri tidak pernah berlaku ofensif terhadap mereka.

Bahkan, saya tidak pernah unjuk suara menyatakan keberatan. Menerima paparan asap itu saya sadari sebagai harga yang harus saya bayar untuk tetap menjadi mahluk sosial di negeri ini. 

Jika saya membenci perokok, entahlah, mungkin saya sudah kehilangan banyak teman. Saya percaya, setiap perokok pasti akan berhenti, entah karena kesadaran, penyakit atau kematian. Namun yang pasti, perlawanan terhadap kapitalisme rokok akan terus saya lakukan sebisa saya.



_____________________________
Ilustrasi. Foto: allegralaboratory.net

Previous
Next Post »
0 Komentar